“Bioremediasi Limbah Pestisida Dengan
Mikroba Indigen”
Mikroba indigen merupakan mikroba alamiah
atau mikroba setempat. Pada lahan pertanian, penggunaan pestisida yang
berlangsung lama akan menekan pertumbuhan mikroba indigen yang berfungsi untuk
merombak senyawa toksik (organofosfat) tersebut. Karena itu, diperlukan
pengisolasian mikroba di laboratorium. Organofosfat merupakan pestisida yang
memiliki toksisitas yang tinggi.
Pestisida golongan organofosfat merupakan jenis
pestisida yang banyak digunakan di Indonesia, khususnya untuk mengendalikan
hama sayuran dan padi. Senyawa aktif pestisida golongan organofosfat seperti
metil parathion. Menurut Lakshmirani dan Lalithakumari (1994) dalam Tisnadjaja
(2001), Pseudomonas putida mampu untuk menggunakan
metil parathion sebagai sumber karbon dan sumber fosfor dalam pertumbuhannya.
Pada tahap pertama dari proses degradasi, enzim organofosforus acid anhudrase
yang dikeluarkan oleh P. putida menghidrolisis metil
parathion menjadi p-nitrophenol. Sementara p-nitrophenol dikonversi lebih
lanjut menjadi hydroquinone dan 1,2,4 benzenetriol yang akan dirubah lebih
lanjut menjadi maleyl acetate.
Pseudomonas putida mampu tumbuh dalam media sederhana (LB) dengan
mengorbankan berbagai macam senyawa organik dan mudah diisolasi dari tanah
(batubara, tembakau) dan air tawar. Pertumbuhan optimalnya antara 25-30⁰C. P. putida mampu
mendegradasi benzena, toluena, dan Ethylbenzene (Genome, 2011).
Perlu dipahami bahwa tingkat pertumbuhan
mikroba yang lebih baik tidak selalu diikuti oleh terjadinya proses degradasi
yang tinggi, namun begitu bila pertumbuhan terlalu rendah maka tidak akan
terjadi proses biodegradasi yang signifikan. Tingkat ketersediaan glukosa
sebagai sumber karbon dalam media menpunyai pengaruh nyata pada tingkat
degradasi, hal ini berkaitan dengan tingkat pertumbuhan yang dicapai
(Tisnadjaja, 2001).
Selain masalah di atas, enzim-enzim
degradatif yang dihasilkan oleh mikroba tidak mampu mengkatalis reaksi
degradasi polutan yang tidak alami, kelarutan polutan dalam air sangat rendah,
dan polutan terikat kuat dengan partikel-partikel organik atau partikel tanah.
Selain itu, pengaruh lingkungan seperti pH, temperatur, dan kelembapan tanah
juga sangat berperan dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi (Munir,
2006).
Pengembangan Proses Bioremediasi
Secara Ex-Situ
Dalam pengembangan proses
bioremediasi residu pestisida metidation telah dilakukan percobaan dalam skala
erlenmeyer dengan menggunakan air limbah yang di ambil dari selokan sekitar
areal tanaman bawang merah di daerah Brebes sebagai bahan dasar media. Untuk
menunjang tingkat pertumbuhan mikroba, ke dalam air limbah ditambahkan nutrisi
dengan komposisi urea 2 g/l, KH2PO4 1 g/l, K2HPO4 1,5
g/l, glukosa 5 g/l dan pH awal media tercatat 7,41. Sementara konsentrasi
metidation yang ditambahkan adalah 100 ppm. Dalam percobaan ini dilakukan
variasi kondisi sebagai berikut:
1.
Media disterilisasi dan dibiarkan tanpa
inokulasi (A1)
2.
Media tidak disterilisasi dan juga tidak
diinokulasi (B1)
3.
Media disterilisasi dan kemudian
diinokulasi dengan isolat 3 (A2)
4.
Media tidak disterilisasi dan diinokulasi dengan
isolat 3 (B3)
Dari pengamatan terhadap laju dan tingkat
pertumbuhan mikroba yang diamati dengan mengukur OD, terlihat bahwa pada A1
tidak ada pertumbuhan sementara pada B1 ada pertumbuhan yang cukup nyata. Ini
menunjukkan adanya pertumbuhan dari mikroba indigen yang ada dalam air limbah.
Sementara dari perbandingan tingkat pertumbuhan antara A2 dan B2, terlihat
bahwa sampai 72 jam waktu inkubasi pada B2 terjadi tingkat pertumbuhan yang
lebih tinggi, tapi pada waktu inkubasi lebih lama atau mulai jam ke 90,
terlihat bahwa tingkat konsentrasi sel pada A2 lebih tinggi dibanding B2. Hal
ini menunjukkan bahwa dengan adanya persaingan dari beberapa mikroba dalam
memanfaatkan nutrisi telah menyebabkan nutrisi tersebut cepat habis dan
selanjutnya mengalami kematian dari mikroba-mikroba tersebut (Tisnadjaja,
2001).
Proses Mikroba Mendegradasi senyawa
Hidrokarbon
Senyawa hidrokarbon aromatis polisiklis
(PAH) dalam minyak memiliki toksisitas yang cukup tinggi. Efek toksik dari
hidrokarbon yang terdapat dalam minyak berlangsung melalui larutnya lapisan
lemak yang menyusun membran sel, sehingga menyebabkan hilangnya cairan sel atau
kematian terhadap sel (Rosenberg and Ron, 1998) dalam Munir (2006). Ketahanan
PAH di lingkungan dan toksisitasnya meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah
cincin benzenanya (Mueller et al. 1998) dalam Munir (2006).
Beberapa golongan mikroorganisme telah diketahui memiliki kemampuan dalam
memetabolisme PAH. Bakteri dan beberapa alga menggunakan dua molekul oksigen
untuk memulai pemecahan cincin benzena PAH, yang dikatalis oleh enzim
dioksigenase untuk membentuk molekul cis-dihidrodiol. Kebanyakan
jamur mengoksidasi PAH melalui pemberian satu molekul oksigen untuk membentuk
senyawa oksida aren yang dikatalisis oleh sitokrom P-450 monooksigenase. Pada
jamur busuk putih, bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan
akan menarik satu elektron dari PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon
(Cerniglia and Sutherland, (2001) dalam Munir (2006)). Cincin benzena yang
sudah terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan
digunakan oleh sel mikroba sebagai sumber energi.
REPOST
: http://kamriantiramli.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar