web stats

Senin, 28 April 2014

CONTOH PENELITIAN BIOREMEDIASI



 “Bioremediasi Limbah Pestisida Dengan Mikroba Indigen”
Mikroba indigen merupakan mikroba alamiah atau mikroba setempat. Pada lahan pertanian, penggunaan pestisida yang berlangsung lama akan menekan pertumbuhan mikroba indigen yang berfungsi untuk merombak senyawa toksik (organofosfat) tersebut. Karena itu, diperlukan pengisolasian mikroba di laboratorium. Organofosfat merupakan pestisida yang memiliki toksisitas yang tinggi.

Pestisida golongan organofosfat merupakan jenis pestisida yang banyak digunakan di Indonesia, khususnya untuk mengendalikan hama sayuran dan padi. Senyawa aktif pestisida golongan organofosfat seperti metil parathion. Menurut Lakshmirani dan Lalithakumari (1994) dalam Tisnadjaja (2001), Pseudomonas putida mampu untuk menggunakan metil parathion sebagai sumber karbon dan sumber fosfor dalam pertumbuhannya. Pada tahap pertama dari proses degradasi, enzim organofosforus acid anhudrase yang dikeluarkan oleh P. putida menghidrolisis metil parathion menjadi p-nitrophenol. Sementara p-nitrophenol dikonversi lebih lanjut menjadi hydroquinone dan 1,2,4 benzenetriol yang akan dirubah lebih lanjut menjadi maleyl acetate.
Pseudomonas putida mampu tumbuh dalam media sederhana (LB) dengan mengorbankan berbagai macam senyawa organik dan mudah diisolasi dari tanah (batubara, tembakau) dan air tawar. Pertumbuhan optimalnya antara 25-30C. P. putida mampu mendegradasi benzena, toluena, dan Ethylbenzene (Genome, 2011).
Perlu dipahami bahwa tingkat pertumbuhan mikroba yang lebih baik tidak selalu diikuti oleh terjadinya proses degradasi yang tinggi, namun begitu bila pertumbuhan terlalu rendah maka tidak akan terjadi proses biodegradasi yang signifikan. Tingkat ketersediaan glukosa sebagai sumber karbon dalam media menpunyai pengaruh nyata pada tingkat degradasi, hal ini berkaitan dengan tingkat pertumbuhan yang dicapai (Tisnadjaja, 2001).
Selain masalah di atas, enzim-enzim degradatif yang dihasilkan oleh mikroba tidak mampu mengkatalis reaksi degradasi polutan yang tidak alami, kelarutan polutan dalam air sangat rendah, dan polutan terikat kuat dengan partikel-partikel organik atau partikel tanah. Selain itu, pengaruh lingkungan seperti pH, temperatur, dan kelembapan tanah juga sangat berperan dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi (Munir, 2006).
Pengembangan  Proses Bioremediasi Secara Ex-Situ
 Dalam pengembangan proses bioremediasi residu pestisida metidation telah dilakukan percobaan dalam skala erlenmeyer dengan menggunakan air limbah yang di ambil dari selokan sekitar areal tanaman bawang merah di daerah Brebes sebagai bahan dasar media. Untuk menunjang tingkat pertumbuhan mikroba, ke dalam air limbah ditambahkan nutrisi dengan komposisi urea 2 g/l, KH2PO4 1 g/l, K2HPO4 1,5 g/l, glukosa 5 g/l dan pH awal media tercatat 7,41. Sementara konsentrasi metidation yang ditambahkan adalah 100 ppm. Dalam percobaan ini dilakukan variasi kondisi sebagai berikut:
1.    Media disterilisasi dan dibiarkan tanpa inokulasi (A1)
2.   Media tidak disterilisasi dan juga tidak diinokulasi (B1)
3.   Media disterilisasi dan kemudian diinokulasi dengan isolat 3 (A2)
4.   Media tidak disterilisasi dan diinokulasi dengan isolat 3 (B3)
Dari pengamatan terhadap laju dan tingkat pertumbuhan mikroba yang diamati dengan mengukur OD, terlihat bahwa pada A1 tidak ada pertumbuhan sementara pada B1 ada pertumbuhan yang cukup nyata. Ini menunjukkan adanya pertumbuhan dari mikroba indigen yang ada dalam air limbah. Sementara dari perbandingan tingkat pertumbuhan antara A2 dan B2, terlihat bahwa sampai 72 jam waktu inkubasi pada B2 terjadi tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, tapi pada waktu inkubasi  lebih lama atau mulai jam ke 90, terlihat bahwa tingkat konsentrasi sel pada A2 lebih tinggi dibanding B2. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya persaingan dari beberapa mikroba dalam memanfaatkan nutrisi telah menyebabkan nutrisi tersebut cepat habis dan selanjutnya mengalami kematian dari mikroba-mikroba tersebut (Tisnadjaja, 2001).
Proses Mikroba Mendegradasi senyawa Hidrokarbon

Senyawa hidrokarbon aromatis polisiklis (PAH) dalam minyak memiliki toksisitas yang cukup tinggi. Efek toksik dari hidrokarbon yang terdapat dalam minyak berlangsung melalui larutnya lapisan lemak yang menyusun membran sel, sehingga menyebabkan hilangnya cairan sel atau kematian terhadap sel (Rosenberg and Ron, 1998) dalam Munir (2006). Ketahanan PAH di lingkungan dan toksisitasnya meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah cincin benzenanya (Mueller et al. 1998) dalam Munir (2006). Beberapa golongan mikroorganisme telah diketahui memiliki kemampuan dalam memetabolisme PAH. Bakteri dan beberapa alga menggunakan dua molekul oksigen untuk memulai pemecahan cincin benzena PAH, yang dikatalis oleh enzim dioksigenase untuk membentuk molekul cis-dihidrodiol. Kebanyakan jamur mengoksidasi PAH melalui pemberian satu molekul oksigen untuk membentuk senyawa oksida aren yang dikatalisis oleh sitokrom P-450 monooksigenase. Pada jamur busuk putih, bila terdapat H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon (Cerniglia and Sutherland, (2001) dalam Munir (2006)). Cincin benzena yang sudah terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan digunakan oleh sel mikroba sebagai sumber energi.

REPOST : http://kamriantiramli.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 bioremediasi. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Sponsored by: Premium Templates | Premium Wordpress Themes. Distributed by: Blogger Template